Melompat ke hari ke-8 perjalanan di Makassar dan Tanah Bugis 3-12 Mei.
Jumping to the 8th day of the trip to Makassar and Bugis land 3-12 May.
Pagi Jumaat 10 Mei 2013, selepas bermalam di Barru sekitar 110 km dari Makassar kami pergi ke satu kawasan desa berdekatan.
Friday morning 10th May 2013, after spending the night at Barru around 110 km from Makassar we went to a nearby village area.
Saya mahu melihat makam lama orang penting sini. Terpapar nama Datu We Tempi Olle.
I want to have a look at the old tomb of the imporant person here. There appears the name Datu We Tempi Olle.
Saya tidak tahu siapa orang ini. Cuma nama Datu menunjukkan beliau seorang pemerintah tempatan dan We menunjukkan perempuan.
I don't know who is this person. Just that the name Datu shows this person to be a local ruler and We shows the ruler is female.
Dalam bangunan terdapat sejumlah makam, mungkin milik ahli keluarga.
Inside the building there exists a number of tombs, maybe that of family members.
Yang ini kelihatan paling terserlah. Mungkin ia makam Datu We Tempi Olle.
This one looks the most outstanding. Maybe this is the tomb of Datu We Tempi Olle.
Dapatan dari Internet :-
ReplyDeleteSiti Aisyah We Tenriolle adalah Datu (Ratu) dari Tanette Sulawesi Selatan. Belum diketahui secara pasti kapan tanggal lahirnya. Yang tercatat dalam sejarah adalah masa kepemimpinannya di Kerajaan Tanette dari tahun 1855-1910. Dia menjabat sebagai Ratu selama limapuluh lima tahun, masa jabatan yang cukup lama. Ayahnya bernama La Tunampareq alias To Apatorang dengan gelar Arung Ujung. Sedangkan ibunya bernama Colliq Poedjie yang bergelar Arung Pancana. Kedua orang tua Aisyah adalah bangsawan, ini bisa diketahui dari pemakaian gelar arung di depan nama.
Aisyah adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Kakak laki-lakinya bernama La Makkawaru. Sedangkan adik bungsunya bernama I Gading. Tak berapa lama kemudian ayahnya, La Tunampareq meninggal dunia. Akhirnya sang ibu, Colliq Poedjie memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya di Tanette. Aisyah dan keluarganya hidup menumpang bersama kakeknya yang bernama La Rumpang di Tanette. Pada waktu itu sedang terjadi perselisihan antara Belanda dan Raja Tanette, La Patau. Akhirnya Belanda menurunkan tahta La Patau di tahun 1840. La Patau diasingkan keluar dari Sulawesi Selatan. Sebagai gantinya, Belanda mengangkat La Rumpang Megga Matinro Eri Moetiara, kakek Aisyah sebagai Raja Tanette.
Kecerdasan Aisyah terlihat sedari kecil. Dia sangat menyukai buku-buku sastra. Bersama ibundanya Colliq Poedjie, Aisyah menyelami sastra-sastra Bugis kuno, terutama I La Galigo. Colliq Poedjie adalah seorang intelek, dialah yang mengurusi pengarsipan dokumen-dokumen kerajaan. Colliq sering diminta oleh Raja yang merupakan ayahnya sendiri untuk menulis surat-surat kerajaan.
Kerajaan Tanette merupakan kerajaan Islam. Pengaruh Islam melekat sangat kuat sebagaimana di kerajaan lainnya seperti kerajaan Goa,Tallo dan Bone. Meski demikian, semasa La Rumpang menjabat menjadi Raja, beliau tidak menutup diri dari kebudayaan lain yang masuk. Dimasa pemerintahannya, La Rumpang menjalin persahabatan yang cukup baik dengan B.F. Matthes dan Ida Pfeiffer.